Personal Growth

The Sun, The Moon, and The Dark Sea

6 Juni 2025
8 min read
Personal Growth
Cover image for The Sun, The Moon, and The Dark Sea

Hitam, putih, abu-abu.

Rasanya bukan soal keberanian, tapi kehilangan arah di labirin rasa yang tak bernama. Terjebak dalam pola yang membungkam ekspresi, jarak antara diri dan orang lain makin melebar. Meski ramai, jarak emosional jadi norma yang jarang dipertanyakan.

Di tengah keramaian, ada ruang kosong yang hampa. Di balik tawa dan pencapaian, diri hanya jadi pengamat, melihat ikatan dan kehangatan orang lain. Semua terasa nyata, tapi tak pernah benar-benar menyentuh hati.

“The soggy darkness crouched down.

Even if we shake our heads,

it’s always the same place.”

— Black Sorrow, STAGE 3

Di tengah kegelapan, terkadang muncul cahaya yang bukan hanya menerangi tetapi juga menyakitkan. Cahaya itu seperti matahari yang membawa musim baru, hangat, sekaligus menantang, mengubah ritme hidup dan memaksa kita merasakan luka sekaligus harapan.

“Even if your cold words

Carve scars beneath my eyes,

May they linger on your tongue.

You can break me apart.

Notice my pain,

And mend me right now.

To quiet my fears,

I’ll drown in you.”

— Cure, STAGE 6

Sinar itu terlalu terang, hingga bentuk diri pun perlahan memudar. Bukan sekadar menyilaukan, tapi mengikis batas antara hadir dan hilang, menyerap warna hingga yang tersisa hanya bayangan samar.

“Every light casts a shadow,

and the closer you get to the light,

the darker that shadow becomes.”

— Plato

Setiap hari sinar itu terus mendekat, jatuh persis di depan mata. Terlalu terang untuk ditatap, terlalu indah untuk ditinggalkan. Ia menyentuh bukan dengan kelembutan, tapi dengan panas yang tak terlihat seperti luka yang tak berdarah, tapi terus terasa. Sebuah pesona dan sekaligus cobaan.

“You’re light. Sometimes you shine so brightly, that I must look away.

Even so, is it still okay if i stay at your side?”

— Killua Zoldyck

Pada akhirnya, bukan cahayanya yang pergi tapi pandangan yang memilih berpaling. Bukan karena menyerah, tapi karena tak lagi sanggup berpura-pura nyaman dalam silau yang membakar perlahan.

Tak kusadari, laut hitam meluas seiring matahari terbenam. Di bawah langit yang sama, lautan gelap bergulung, kadang lembut, kadang ganas.

Dalam keheningan lautan, aku belajar merangkul ketidaksempurnaan, mengasah kesabaran, dan menemukan kekuatan yang terlupa di gelombang ketidakpastian.

“At the end of this story, there is only a cold spot

Stained with blood and empty air”

— Black Sorrow, STAGE 3

Di balik gelapnya malam, lautan memantulkan kilau-kilau kecil. Tidak sekuat matahari, tapi cukup untuk membuat tenang. Mereka tidak menuntut untuk dilihat, tidak memaksa untuk diakui. Hanya hadir, lembut, setia, menemani diam-diam di tengah pekat.

Mereka adalah sang bintang-bintang yang berkelip pelan, mereka menjadi penanda arah ketika segalanya terasa hilang. Bukan cahaya yang menyilaukan, tapi cahaya yang mengerti; yang tidak berbicara keras, tapi bisa didengar oleh hati yang nyaris diam.

Dalam sunyi, mereka mengisi celah kosong, menenangkan jiwa, dan menguatkan langkah, pelan tapi pasti. Lautan gelap bukan hanya ruang kosong menakutkan. Dalam kegelapan dan kedalaman, ada harapan yang bisa ditemukan dengan berani memandang lebih jauh.

“Thank you for being the victim of my shallow emotions.”

— Ivan, Alien Stage

Setiap perjumpaan bukan jawaban, tapi cermin yang membuka pertanyaan baru. Interaksi jadi eksperimen tanpa akhir, menguji hipotesis siapa diri ini melalui respons yang muncul, melalui versi diri yang tak sengaja terbentuk dalam dinamika bersama.

Yang dicari bukanlah penerimaan, bukan juga afeksi, melainkan refleksi yang cukup jujur untuk membuka kemungkinan baru tentang diri sendiri. Dan saat sang matahari tenggelam, yang tertinggal bukan kekosongan, tapi pengalaman. Bukan luka yang membekas, tapi pelajaran yang membentuk ulang pandangan tentang diri.

Dari kerentanan itu, muncul keberanian untuk tidak takut lagi pada kegelapan. Bukan karena gelapnya hilang, tapi karena telah terbiasa berjalan di dalamnya. Seperti bulan yang tak punya cahaya sendiri, tapi tetap bersinar bersama bintang-bintang yang paling otentik.



Catatan Kaki:
AI Interpretation